Nama majalengka sendiri berasal dari nama kuno yang biasa dipakai untuk mengucapkan secara sinonim kata "maja-pahit" atau "maja-langu" majalengka berarti maja-pahit, buah maja yang pahit, karena ada juga buah maja yang manis (maja legi). Lengkit (leng dalam lengkap) artinya sama dengan pahit atau langu. Maja yang pahit itu berenuk (Crescentia cujete). Maja yang manis (maja legi atau maja batu atau Aegle marmelos) bisa dimakan dijadikan sirup, maja yang pahit (berenuk) tidak bisa dimakan, tapi biasa digunakan untuk obat malaria (sebelum kina ditemukan Junghuhn).
Dalam bahasa Sansekerta buah maja itu disebut “bilva”, sementara pahit disebut “tikta” (lihat kamus Inggris-Sansekerta online). Kata “bilva” itu berubah jadi “wilwa” dalam tuturan Indonesia-Jawa; majapahit = wilwatikta. Bilva= bael = buah dari Bengali, India. Bilva (bael) sendiri itu maja legi (buah maja yang manis).
Keberadaan kabupaten maja yang ibukotanya di maja itu tidak banyak bukti peninggalan sejarah nya, bupati terakhir kabupaten maja sebelum berubah nama menjadi majalengka di ketahui bernama Raden tumenggung Dendanegara (1819-1848), yang konon makamnya berada di daerah gunung wangi yang kemudian oleh penduduk setempat di namai Dalem kiai, Jalan raya utama Maja -Cirebon adalah jalan raya Maja (kantor bupati), ke utara, berbelok ke kanan melewati jembatan Cirungkut (Cibuni, Cigede–kata orang Babakan Jawa Maja) melewati Blok Saptu terus ke Cileungsi Paniis, Cicalung, Ciomas, Padahanten, Sukahaji, Rajagaluh, Leuwimunding, Banjaran, Palimanan, Plumbon, Cirebon). Jadi jalan itu akan cocok diberi nama Jalan Raden Tumenggung Dendanegara...
JEJAK SEJARAH KABUPATEN MAJA..(PABRIK TEH ARGALINGGA)
Sekali pernah tertemukan foto jaman baheula (jadoel) rumpun bamboe (bamboedos) di Argalingga. Yang memotret Urang Walanda, tentu. Artinya itu foto jaman ketika Belanda masih sedang bercokol di Indonesia. Menarik. Kenapa hanya rumpun bambu saja kok difoto? Itu barang aneh bagi orang Belanda, tentu. Di Belanda tidak ada pohon bambu, soalnya. Di Inggris ada sih pohon bambu raksasa, sangat amat besar sekali, bambu besar kehijauan bergaris-garis putih, tapi cuma dalam “kurungan tenda kaca” berpemanas ruangan yang tembus pandang. Lupa-lupa ingat tempatnya, kayaknya di Kebun Raya Inggris yang bernama Kew Garden. Di situ ada juga ikan kancra yang bukan main gedenya. Jelas bukan kancra dari Maja. Hehehe. Ikan kancra Maja mah “karecil,” da sudah agak besar sedikit aja, langsung dijual. Butuh duit, gitu. Mending kalau terjual, kadang kala “dipalingan ku batur,” dan dimakan “sero.” (Wah, kok tidak ada foto “kokolotokan” di pancuran “balong”, ya!) Foto bambu karya orang Belanda itu jadi mengingatkan pula pada bahwa pada jaman Belanda akhir di Argalingga itu ada perkebunan teh. Orang Belanda mendirikan pabrik teh di Argalingga, dan tentu tinggal di situ (sejuk sih, kayak di Belanda), dan jadilah memotret bambu yang ada di situ, sebagai sesuatu yang menarik. Perkebunan teh itu sekarang tinggal bekas-bekasnya saja. Konon kata yang sering mendaki Gunung Ciremay lewat jalur Apuy, bekas perkebunan itu sudah jadi kebun sayur mayur.
RUMPUN BAMBU DI ARGALINGGA 1920
Rumpun bambu di Argalingga [foto 1920; koleksi Tropenmuseum]
Melacak kembali “sejarah” pabrik teh Argalingga itu ternyata tidak mudah. Sudah dicoba dengan bahasa Ingggris, tak ada. Dengan bahasa Belanda, walau saya tak banyak paham tentangnya, hanya satu dua kata saja, juga susah sekali. Saya coba lacak karena ternyata foto-fotonya, alhamdulillah, ada beberapa yang bisa ditemukan. Andaikata saya Bupati Majalengka, saya akan “rekonstruksi” kembali pabrik itu, walau dengan modal besar, untuk jadi objek wisata sejarah. Jangan sampai ditelantarkan seperti pabrik gula Kadipaten dan Jatiwangi. Mestinya dipelihara sebagai peninggalan sejarah. Jadikan “suaka purbakala” walau tidak terlampau “kuno”–untuk masa sekarang, untuk nanti di kemudian (50 tahun kemudian), itu akan jadi sejarah benar-benar. Di Talaga terlacak, dalam bahasa Belanda, ada pabrik teh Tjareng. Ada “amtenar” Belanda yang pernah tinggal di situ dan keluarganya berceritera di internet. Belum terlacak ceritera lanjutnya, apalagi foto-fotonya. Jadi, yang di Argalingga ini termasuk istimewa, masih bisa terlacak,tapi di mana sebenarnya letak pabrik itu..mungkin penduduk argalingganya lebih tau,saya kuatir sudah tidak ada lagi bekas-bekasnya,tapi mungkin bekas-bekas pondasinya masih ada..siapa tau?????
MAJA TEMPOE DOELOE
Tidak banyak yang diketahui tentang Maja (atau Kabupaten Maja) baheula. Saya harus menggunakan istilah Kabupaten Maja karena foto-foto yang terlacak dari koleksi Tropenmuseum ini tidak seluruhnya saya kenal ada di Maja (desa) atau Maja (kecamatan– sebelum dipecah dua menjadi Maja dan Argapura). Kabupaten Maja Versus Kabupaten Majalengka Nah, supaya sambung ihwal Kabupaten Maja dan Majalengka, berikut paparannya. 1. Kabupaten Maja dan Ibukotanya Mulai tanggal 5 Januari 1819 nama Maja dijadikan nama kabupaten (Kabupaten Maja), yang bersama-sama dengan Kabupaten Cirebon, Bengawan Wetan (Palimanan/Indramayu selatan?), Kuningan, dan Galuh (Ciamis), berada di dalam (termasuk ke dalam) Karesidenan Cirebon (Residentie van Cheribon). Tanggal 5 Januari 1819 itu pembentukan Karesidenan Cirebon dengan keregenan seperti disebutkan di atas.Kabupaten Maja itu mencakup wilayah (yang mungkin tadinya “regenschaft–kemudian jadi distrik) Maja, Sindangkasih, Talaga, Rajagaluh, Palimanan dan Kedondong. Diduga ibu kota Kabupaten Maja itu “kota” Maja juga. Lihat peta “Kabupaten/Regenschaft Madja” dan analisis di bawah! Sesuai peta, hanya ada dua pilihan untuk disebut ibu kota: Maja atau Talaga. Maja lebih rasional: Nama kabupatennya Maja, ibu kotanya juga Maja. Bengawan Wetan selanjutnya tampaknya bergabung jadi Maja, sementara Indramayu “wilayah partikulir” mulai masuk ke dalam Karesidenan Cirebon (lebih tepat Bengawan Wetan yang ada di utara Cirebon sekitar Gegesik –bukan Palimanan — jadi Indramayu atau Cirebon.
Kabupaten Maja. Batas utara jalan raya karang sambung-jamblang.batas timur garis membelah Ciremay (Jamblang – “regenschaft” Talaga), batas selatan garis di bawah “regenschaft Telaga,” batas barat garis tebal perbatasan Karesidenan Cirebon dan kabupaten Sumedang. Ada dua nama kota di dalamnya: Maja dan Talaga.
PERUBAHAN NAMA KABUPATEN MAJA MENJADI MAJALENGKA
-legalitas
Mulai 11 Februari 1840 nama Kabupaten Maja diubah menjadi Majalengka. Besluitnya berbunyi: Verandering van den naam van het regentschap Madja (residentie Cheribon), alsmede van den zetel van hetzelve, thans genaamd Sindang-Kassie, in dien van Madja-Lengka. “Verandering” [perubahan] “van de naam” [nama] “van het regentschap Madja (residentie Cheribon)” [keregenan/kabupaten Madja (karesidenan Cirebon)], “alsmede” [sekaligus juga] “van den zetel van hetzelve” [tempat kedudukannya], “thans genaamd Sindang-Kassie” [yang saat sekarang ini bernama Sidangkasih],” in dien van Madja-Lengka” [untuk selanjutnya (diberi nama) Majalengka). Ibu kota, yang dalam bahasa besluit disebut "tempat kedudukannya" (den zetel van hetzelve), yaitu kedudukan keregenan atau pemerintahan Kabupaten Majalengka yang "sekarang ini" (bahasa Belandanya "thans," alias pada saat itu) bernama Sindangkasih ["thans genaamd Sindangkassie") diubah nama juga menjadi Majalengka.
Peta Junghuhun (potongan). Sindangkasi sama dengan Majalengka. Perhatikan pula tulisan "aardolie" (minyak bumi--eksplorasi minyak bumi pertama di Indonesia) yang ada di antara Sungai Cimanglet (Cilongkrang?) dan Cibodas) yang bermuara ke K-Leeton (Cilutung) Jika merujuk peta "Kabupaten Maja" di atas, dan peta kota Sindangkasih (Majalengka) Junghuhn di atas, itu berarti bahwa semula ibu kota Kabupaten Maja itu di Maja, bukan di Sindangkasih. Banyak orang menduga, dari membaca besluit yang sama yang menyebut nama Sindangkasih sebagai tempat kedudukan keregenan yang kemudian diubah menjadi Majalengka seiring perubahan nama Kabupaten Maja menjadi Majalengka itu, ibu kota Kabupaten Maja itu Sindangkasih. Bahkan ada yang menyebut Kabupaten Majalengka itu sama dengan Kabupaten Sindangkasih (suka ditulis Kabupaten Majalengka atau Sindangkasih---salah besar, tidak ada nama Kabupaten Sindangkasih). Maja dipilih sebagai ibu kota kabupaten diduga karena hawanya yang sejuk. Bagi orang Belanda kesejukan itu perlu dan penting, sesuai dengan iklim daerah asalnya. Lebih-lebih karena bisa pula "naik gunung" ke Argalingga mencari udara yang lebih dingin.
Tampaknya (hipotetis) ada pemikiran pada Pemerintah Belanda ketika itu untuk memindahkan ibu kota Keregenan Maja itu ke tempat lain, yang lebih "datar" sehingga lebih luas untuk pengembangan kota. Maja tidak representatif untuk dikembangkan jadi kota karena berbukit-bukit. Tempat yang terpilih berada di "wilayah Sindangkasih" (bukan desa Sindangkasih sekarang, tapi termasuk bagiannya). Salah satu pertimbangannya pasti ada jalur jalan (dari Karangsambung menuju ke Maja, Talaga, dan juga Kawali--lewat Sindangkasih sekarang, lalu melalui Kulur, Cieurih, Pasanggrahan, Anggrawati dst.).
-SINDANG KASIH versus MAJALENGKA
Seiring dengan perubahan tempat ibu kota, bukan di Maja lagi, maka nama kabupaten itu perlu diberi nama baru. Jika menggunakan nama "daerah yang baru" (Sindangkasih), akan bertabrakan nama dengan banyak nama Sindangkasih (Karawang, Ciamis, Beber Cirebon). Lalu dipilih tetap menggunakan nama Maja, akan tetapi harus ditambahi "tambahan kata" agar tidak tabrakan dengan nama Maja yang sudah tidak jadi ibu kota lagi. Hipotetis: Setelah berdiskusi, tertemukanlah kemudian nama "Majalengka" dari para ahli yang tahu babad Majapahit. Majapahit (kerajaan) itu suka juga disebut Majalengka. Majalengka sama makna dengan majapahit. Dalam bahasa Sansekerta kerajaan Majapahit itu suka disebut juga Vilvatikta atau Wilwatikta. Vilva (wilwa atau bilwa) itu buah maja; tikta artinya pahit. Nama Majapahit sudah jauh lebih populer dibandingkan nama aliasnya, yaitu Majalengka. Dengan kata lain, nama Majalengka dalam berbagai "literatur" sudah tidak digunakan untuk menyebut nama Majapahit. Maka, karena ada persamaan ihwal buah maja (yang pahit itu), digunakanlah nama itu. Akhirnya, jadilah, per 11 Februari 1840 berdiri "kota" Majalengka sebagai ibu kota ("tempat kedudukan keregenannya" atau "den zetel van hetzelve") yang baru dari Kabupaten Majalengka, yang semula termasuk wilayah Sindangkasih. Dengan kata lain, daerah "tempat kedudukan pemerintahan" Majalengka yang bernama Sindangkasih itu, dipisahkan dari desa Sindangkasih semula. Bahasa lainnya, desa Sindangkasih dimekarkan menjadi ada Sindangkasih dan ada Majalengka. Ini seperti Kecamatan Majalengka dulu yang sekarang dimekarkan menjadi Kecamatan Majalengka dan Cigasong. Tampaknya begitu. Lihat juga peta "kota" Sindangkasih (Majalengka) versi Junghuhn (1860-an) di atas, disajikan pula di bawah berikut. Tertulis: Sindanglasi (Madja Lengka). Maksudnya, tadinya Sindangkasih, sekarang menjadi Majalengka.
Desa ("Kota") Sindangkasih (tempat kedudukan kebupatian yang baru) berubah nama menjadi desa ("kota") Majalengka tahun 1840 (dipetakan Junghuhn tahun 1860) Jadi, desa (kota) Majalengka itu berdiri dengan besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 11 Februari 1840, sebagai nama pengganti dari nama semula Sindangkasih (bagian dari desa Sindangkasih). "Kampung Sindangkasih" asli (di posisi desa Sindangkasih sekarang) kemudian dijadikan tempat kedudukan pemerintahan desa Sindangkasih yang baru sampai sekarang. Tampaknya urutan sejarahnya demikian. "Desa" (kota) Majalengka kemudian (belum terlacak tahunnya) dimekarkan lagi menjadi Majalengka Wetan dan Majalengka Kulon. Seperti desa Maja yang dimekarkan menjadi Maja Kaler dan Maja Kidul.
-MAJA ATAU TALAGA SEBAGAI IBUKOTA KABUPATEN MAJA
Di bawah ini--seperti telah disinggung di muka--peta "Kabupaten Maja" (benar-benar tertulis Madja) dengan dua kota besar saja yang ada di dalamnya, yaitu Madja dan Telaga. Walau dibuat tahun 1841 dan diterbitkan 1842, tampaknya perubahan pada tahun 1840 (Maja menjadi Majalengka, dan Sindangkasih menjadi Majalengka) itu belum sampai pada pembuat peta, sehingga masih bernama Madja dan ibu kotanya belum Sindangkasih (Madjalengka). Perhatikan garis jalan raya (yang tertulis "Post ...... Weg") dari Karangsambung ke Jamblang yang menjadi batas utara Kabupaten Maja. Dari Jamblang naik ke Gunung Ciremay menembus sampai dengan "regenschaft" Telaga (tulisan besar dekat garis), terus ke barat ke perbatasan Karesidenan Cirebon dengan Karesidenan Priangan ("Kabupaten Sumedang")--garis tebal yang ada warna pink. Dari "postweg" (jalan raya) Karangsambung ke selatan (bawah peta) tidak ada "kota" apapun (Kadipaten, Sindangkasih atau Majalengka). Hanya ada dua lingkaran kecil dengan masing-masing bertuliskan "Madja" dan "Telaga." Itu sebabnya dapat disimpulkan bahwa ibu kota Kabupaten Maja itu Maja, bukan Sindangkasih. Tidak logis juga jika ibu kotanya Talaga, karena tak tersebut-sebut dalam besluit ada perpindahan ibu kota (tempat kedudukan kebupatian atau keregenan) dari Talaga ke Sindangkasih. Ibu kota Maja tidak disebut, karena tampaknya dianggap otomatis tersirat dalam nama Kabupaten Maja. Dalam besluit disebut dengan kata "thans" (yang sekarang ini--saat "dipindahkan"), bukan yang tadinya atau dahulunya ("vroeger" atau "eerst") bernama Sindangkasih.
-KOTA LUMAJU : LOH MAJA
Ibu kota Kabupaten Maja, seperti telah disebutkan di atas, kalau tidak Maja ya Talaga. Talaga itu adanya di (semula) "regenschaft Telaga" seperti tampak dalam peta (di bawah nama "kota" Telaga), dan disebut-sebut pula keberadaanya dalam batas-batas wilayah Kabupaten Maja (tercakup ke dalam Kabupaten Maja) dalam besluit pendirian Karesidenan Cirebon yang salah satu kabupatennya Maja (5 Januari 1819). Ada dua "regenschaft" yang disebut-sebut dalam batas-batas wilayah Kabupaten Maja dan lainnya, yaitu "regenschaft Rajagaluh" dan "regenschaft Talaga." Tampaknya itu pengakuan akan adanya wilayah eks" ketumenggungan ("kerajaan" bagian dari Kerajaan Galuh/Pakuan-Pajajaran) di situ. Perhatikan peta Junghuhn di atas. Ada jalur jalan raya dari "Cirebon" sampai Maja, dan tidak terus ke Talaga. Jalur jalan dari Majalengka ke Maja dan Talaga pun kecil saja (garis tunggal). Itu artinya Maja memang ibu kota Kabupaten Maja, bukan Talaga. Residen Cirebon jika akan inspeksi ke Kabupaten Maja ya datangnya akan ke Maja, bukan ke Talaga. Jika ibu kota Kabupaten Maja itu Maja, maka dapat dianggap juga bahwa adanya "kota" (desa) Maja secara yuridis-formal sebagai ibu kota Kabupaten--sementara, sebelum sejarahnya terlacak lebih jauh--itu mulai tanggal 5 Januari 1819. Andaikata nama Dalem Lumaju Agung itu mengikuti nama kampung atau wilayah, seperti Dalem Jero Kaso yang disebut demikian karena memimpin kampung Jero Kaso Maja, maka desa (daerah) Maja itu dulunya bisa jadi bernama desa Lumaju. Kata Agung (Ageng) merupakan tambahan kepada gelar Dalem, karena Dalem Lumaju benar-benar agung. Jadilah sesebutannya (bukan nama aslinya) "Dalem" (yang memimpin daerah kadaleman) "LUMAJU" yang "agung" (Dalem Lumaju Agung/Ageng). Dari asal mula bernama "LUMAJU," lama-lama berubah menjadi MAJA. Jauh juga, ya! LUMAJU, LUMAJA! Stop: Bisa jadi nama Lumaju itu asal mulanya "LOH MAJA" (tanah daerah yang banyak ditumbuhi tanaman maja). Maja atau berenuk? Silakan baca: "Maja ta Berenuk?" dalam page Bongkok-Ciremay. Ini seperti "Loh Asri" yang lalu menjadi "Losari." Kata Lohasri ke Lohsari, lalu ke Losari itu dekat sekali. Tetapi "lohmaja" menjadi "lumaju" memang agak jauh. Tapi, jauhan mana "Hujung Barang" kata Bujangga Manik (Prabu Jaya Pakuan) menjadi "Ujung Berung" kata urang Rajagaluh, dengan "loh maja" menjadi "lomaja" menjadi "lomaju" menjadi "lumaju." Coba tuliskan kata "lohmaja" itu dengan aksara pegon (Arab-Sunda-gundul alias tanpa syakal). Akan tertulis "lam-wawu-ha" (maunya "loh" bisa terbaca "luh"). Lalu "maja" akan dituliskan "mim-alif (panjang) dan jim" (maja, bisa juga maju). Atau kita kembalikan saja nama Dalem Lumaju Agung itu ke "khiththahnya." "Maja" kembali ke "Lohmaja (Lomaja)," sehingga "Dalem Lumaju Agung" menjadi "Dalem Lohmaja (Lomaja) Agung." Keun siah, urang Maja dibikin parusingeun ku uing tah si urang Babakan Jawa Maja. Komo "urang Sindangkasih" mah! Di mana "bekas-bekas" kantor Kabupaten Maja? Saya "curiga" dengan bangunan selatan alun-alun Maja yang pernah dipakai markas tentara Diponegoro (Batalyon 476) yang membangun "tugu" di depannya sekitar tahun1958 ketika sedang "perang" dengan DI/TII. Mungkin juga bangunan itu pernah dijadikan markas tentara Belanda ketika perang "actie I" yang salah satu peletonnya bermarkas juga di Argalingga (mengawasi perkebunan tebu?--jangan-jangan yang dimaksud perkebunan teh). Tentang ini silakan baca di bawah. Bangunan dimaksud pernah dipakai oleh SPP-SPMA Kabupaten Majalengka di Maja. Kantor bupati itu jangan dikira sangat mewah seperti istana. Ini contohnya di bawah: rumah Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja (1915-1922) yang juga amat sederhana saja (dilihat dari kaca mata sekarang). Jika yang tahun 1920-an saja seperti itu, tentu lebih-lebih lagi bangunan tahun 1819-1840.
SEKALI LAGI TENTANG SINDANG KASIH
Agar adil, tidak mengadili dengan “tak sengaja,” Februari 2011 ini tertemukan peta Belanda kuno juga. Di dalamnya ada Sindangkasih, walau tulisan tepatnya tidak begitu jelas, tapi tetap bisa diduga itu Sindangkasih. Hanya saja, dari letaknya tidak begitu jelas ini Sindangkasih mana, Beber, ataukah Majalengka? Lihat perbandingannya dari Karangsambung di sebelah kanan pnadnagan kita pada peta. Di kiri atas ada juga Kuningan. Di sebelah atas Sindangkasih ada nama “kota” juga, tapi tak jelas apa. Tidak tampak tertulis seperti “Telaga.” Ini peta besarnya, saya krop (potong) yang berkaitan dengan Cirebon saja.
Peta Wilayah Cirebon
Lihat gunung Ciremay (De berg “Sirmeij”). Turun ke bawah ada titik berwarna merah, di bawah Ciremay, di atas bukit-bukit, dengan tulisan menegak ke atas. Itu Sindangkasih. Ada titik merah pula di sebelah kanan Ciremay. Tidak jelas tulisannya (itu ternyata Cikro -Cikeruh). Lihat di sebelah kanan ada Gunung Tampomas (Berg Tampomas). Itu wilayah Sumedang (District Sammadang). Ada sungai besar. Di situ ada Karangsambung. Tarik jalan ke arah kiri, itu ke timur. Berapa jauh dari Karangsambung (Kadipaten) ke Sindangkasih? Mungkinkah itu Sindangkasih Majalengka? Agak susah? Ini potongan lebih khusus agar lebih jelas.
PETA SINDANG KASIH
Nah, sekarang agak lebih jelas. “Tetenger”-nya De Berg Sirmeij (pasti gunung Ciremay). Di bawah gunung Ciremay ada perkebunan jati. Ada sungai langsung dari Ciremay, ini nantinya bergabung ke Cimanuk (dari Sammadang). Ada bukit-bukit di paling bawah peta. Ada titik merah. Itu Sindangkasih (tertulis Cundang Kassi). Di atasnya, di hulu sungai agak ke kanan, ada titik merah juga. Itu yang tidak jelas kota apa. Di sebelah kanan, dekat sungai Cimanuk, ada Karangsambung (bawah jalan, kanan sungai) dan di atas jalan kanan sungai ada Jatiraga. Atas kiri, kiri Ciremay ada titik merah juga. Itu Kuningan. Bukit-bukit di bawah itu tidak jelas bukit apa. Sindangkasih ada di sebelah timur sungai, itu kemungkinan besar Cikeruh. Jadi, Sindangkasih itu Majalengka atau? Ini pembesaran peta di atas.
Di peta berikut baru jelas itu yang disebut Cundanglassi (Sindangkasih?) itu di mana. Berada di sebelajh timur sungai Cikeruh. Bisa jadi, jika memang sudah ada sejak baheula, itu Sindanghaji Leuwimunding, tadinya Sindangkasih (?!) Hanya saja tidak terpahami kenapa sungai Cikeruh berasal dari timur gunung pegunungan Ciremay, dan Cundanglasi ada di utara jalan raya, Sindanghaji ada di selatan jalan raya. Sindangkasih Beber? Mungkin juga.
KEBERADAAN KERAJAAN SINDANG KASIH YANG DIRAGUKAN..(adakah atau hanya sebatas dongeng sebelum tidur)
Berbasiskan sejarah pendirian kota Majalengka yang semula berasal dari “desa” (kampung bagian dari desa) Sindangkasih, sekian tahun kemudian tampaknya dibuatlah sebuah dongeng (“ngabobodo nu cengeng”), mirip sebuah legenda. Yang dijadikan objek dongeng adalah perubahan nama Sindangkasih menjadi Majalengka, dengan “keanehan” nama maja lengka yang oleh orang Majalengka “modern” tidak dikenal. Dicari direka-rekalah bahwa nama itu berasal dari kata “maja” (buah maja) dan bahasa cirebonan “langka” (beli ana) yang diubah manja jadi hilang (ngahiang), padahal hilang (“leungit”–Sunda) itu bahasa cirebonannya “ilang.”
Versinya menjadi: (1) Kerajaan Sindangkasih dengan buah (hutan) majanya “langka” (hilang); dan (2) buah maja yang diperebutkan yang kemudian “langka” (hilang).
Kapan hilangnya Kerajaan Sindangkasih (dan berdirinya Kerajaan Majalengka), konon ditengarai dengan candrasakala “sindang kasih sugih mukti” yang nilai angkanya sindang 2, kasih 1, sugih 4, dan mukti 1 (tahun Jawa/Saka). Ini dibaca dari belakang menjadi 1412. Jika dialihkan ke Masehi harus ditambah 78 jadi 1412+78 = 1490 (klop). Jika menggunakan tahun Masehi, maka angkanya menjadi sindang 0, kasih 9, sugih 4, mukti 1, dibaca terbalik jadi 1490. Nah, para ahli “sengkalan” bisa menyebutkan mana yang benar, tentu sambil harus tahu dulu apa itu makna kata “sindang” (jelas bukan bahasa Sunda yang berarti mampir, ada kemungkinan sinonim dengan sendang, sedang, sedong, atau situ). Juga makna “kasih”. Apakah bahasa Sunda modern mengenal kata kasih? Yang ada asih. Ada juga “kakasih” (yang mungkin serapan dari basa Indonesia kekasih). Jdi, pasti bahasa Sunda buhun (yang relatif banyak kesamaan dengan Jawa). Di Jogja ada nama kecamatan Kasihan yang terkenal dengan desa Kasongan (sentra kerajinan keramik). Orang Cirebon lama sudah kenal dengan nama Ki Gedheng (Gedhe = Agung, ing = di/dari) Sindangkasih (Sedhangkasih) yang punya anak Nay (Nyi) Ambet Kasih.
Yang aneh adalah candrasangkal itu lazimnya menunjukkan peristiwa tertentu yang cocok, misalnya runtuhnya Majapahit ditengarai dengan sengkala sirna ilang krtaning bumi yang sama dengan sirna 0, ilang 0, krta 4, dan bumi 1. Dibaca terbalik menjadi 1400 Saka. Masehinya 1400 + 78 = 1478. Runtuhnya majapahit itu sama dengan hilang musnahnya kesejahteraan di bumi (majapahit). Nah, hilangnya sindangkasih justru terbalik dicandrasangkali, yaitu menjadi sugih mukti. Kebohongan candrasangkala, alias candrasangkala itu tidak pernah ada. Harusnya yang sugih mukti itu Maja Lengka, jadi Maja Lengka Sugih Mukti, karena Sindangkasih sudah tidak ada, sudah berganti jadi Majalengka (karena majae wis langka–konon sejak itu ada nama Majalengka–gantinya Sindangkasih!!!!) Tapi tak cocok dengan tahunnya!!!!!! Jadi. ayamku?!! Hehehe…. Kasihan benar tuh “slogan” Sindangkasih Sugih Mukti dalam lambang Ma jalengka. Ganti saja, lah, malu-maluin anak cucu yang sudah intelektual (Jangan lupa, sudah banyak doktor dan profesor asli urang Majalengka, dan pasti akan bertambah banyak lagi!!!!)
FOTO-FOTO KUNO KABUPATEN MAJA DAN MAJALENGKA
Pertama, sungai Cikeruh. Ini di bagian mana? Tak tahu saya. Bisa jadi di dekat jembatan Sukahaji-Rajagaluh. Kedua, desa atau wilayah Sindangpalay, belum sempat saya lacak di mana. Foto-foto kuno jaman Belanda ini menyebutnya berada di derah “Madja.” Jadi, ada kemungkinan mengapa nama Kabupaten Majalengka sekarang itu awalnya Kabupaten Maja, karena nama Maja lebih populer di masyarakat dan pemerintah Belanda karena ada pabrik teh di Argalingga, dan kemungkinan mereka juga banyak berdiam di lereng Ciremay yang bernama “Maja” itu, entah di bagian mana, karena lebih dingin, lebih cocok untuk mereka. Curug Apuy juga lebih dikenal dengan nama Curug Maja, kan? Padahal di Apuy (di peta Belanda ditulis Apai, sementara Argalingga malah tidak dipetakan). Basa Sunda lawas (Kawi) “apuy” di nusantara bagian lain disebut apoy dan api; bahasa Kawi “nirapuy” = tak berapi.
STOP: Maja lebih dikenal karena ada pabrik teh di Argalingga, salah! Hehehe. Kabupaten (Regensi) Madja berdiri 1819, ganti jadi Madjalengka 1840, pabrik teh Argalingga 1900-an. (Baca “Sejarah Majalengka: Melacak Jejak Hindia Belanda” di blog ini juga, di situ ada surat keputusan asli berbahasa Belanda dari literatur berbahasa Belanda tentang Regensi Madja dan Regensi Madjalengka!). Mungkin karena di wilayah “Maja” itu banyak sekali “dalem” dari “Kerajaan” Talaga (Katumenggungan Talaga, sebagai bagian dari Kerajaan Galuh atau Pakuan Pajajaran).
Gawir tepian terjal sungai Cikeruh, Maja, Cirebon “yang gundul.” Foto tahun 1930-an, koleksi Tropenmuseum.
Di bawah ini juga tepian sungai Cikeruh, sisi yang lebih landai. Sayang seberapa lebar dan dalam sungai Cikeruh tidak tergambarkan. Jika ada gambaran lebarnya dan kepenuhan airnya, maka patut diduga bahwa “urang Talaga” jaman Kerajaan Talaga masih ada itu jika ke Cirebon pasti “berlayar” di sungai Cikeruh melalui “bandar sungai” (bahasa Belandanya “fort”) Palabuan. Nah, Palabuan ini belum terlacak jejaknya kenapa disebut Palabuan (yakin pasti “palabuan parahu” sungai Cikeruh). Tomo sudah terlacak dalam peta Belanda disebut Fort Tomo (pelabuhan–bandar sungai–Tomo), dekat desa tempat penyebrangan (menyeberangi sungai Cimanuk) yang bernama Karangsambung (disebut dalam besluit pembentukan Karesidenan CVirebon, 1819).
Tepian sungai Cikeruh, Maja, Cirebon “yang gundul.” Koleksi Tropenmuseum.