Sunday, August 4, 2013

MAJALENGKA DI HANTAM METEOR RAKSASA

Sebuah hipotesa baru di ungkapkan oleh profesor koesoemadinata, sebuah hipotesa yang beliau persembahkan untuk para pendengar dongeng geologi,yaitu tentang fenomena GEO-CIRCLE yang mirip-mirip dengan fenomena CROP-CIRCLE yang baru-baru ini sempat menggemparkan dan menjadi buah bibir di mana-mana.

GEO-CIRCLE : SEKITAR 4 JUTA TAHUN YANG LALU MAJALENGKA PERNAH DI HANTAM RENTETAN HUJAN METEOR RAKSASA

ditulis oleh : R.P.KOESOEMADINATA

Gurubesar Emeritus Geologi Institute Teknologi Bandung

Suatu penelitian sekilas pada Google Earth map memperlihatkan bahwa adanya Geo Circles (saya meniru istilah crop circles yang diberitakan di sekitar Jogya) bersekala besar di daerah barat daya Majalengka (gb.1). Bentuk morfologi ini pernah dipetakan secara geologi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, P3G (sekarang Pusat Survai Geologi, Bandung), dan ditafsirkan sebagain anjakan (thrusting) yang melengkung pada Lembar Arjawinangun (sekala 1: 100.000) yang diterbitkan tahun 1973 (gb-3).

Namun struktur geo-circles ini sulit untuk dapat dijelaskan sebagai gejala tektonik, sebagai anjakan (thrusting) walaupun usaha untuk menjelaskan dengan ”gliding tectonics” (tektonik longsoran) sering diajukan,. Penjelasan demikian tidak memuaskan karena struktur anjakan (thrusting, sesar naik) yang berbentuk setengah lingkaran (semi-circles) ini menghadap ke semua arah penjuru angin, sehingga memerlukan keberadaan suatu pusat tinggian, yang justru tidak ada. Juga jurus tektonik regional (regional tectonic trend) sini ada mengarah Barat-laut –Tenggara relatif tanpa gangguan. Justru pusat-pusat geo-circles ini merupakan cekungan, antara lain Cekungan Sungai Cilutung, yang dapat ditafsirkan sebagai kawah raksasa yang di bentuk karena dihantam oleh suatu rentetan beberapa meteor berukuran besar (a train of meteors). Gejala geo-circles baratdaya Majalengka ini merupakan suatu kompleks kawah meteor, dan paling tidak dapat dihitung adanya 5 kawah hantaman (impact craters) , yang saling bertumpukan pada citra Google Earth Map ini (lihat gb.-2).

Dasar kawah ini ditutupi oleh batuan pasir tufaan Formasi Citalang, yang ditetapkan umurnya sebagai Pliocene, sekitar 4 juta tahun yang lalu. Dengan demikian kompleks kawah meteor tersebut berumur paling tua 4 juta tahun yang lalu. Keberadaan adanya ”multi- meteor craters” di satu tempat dapat dijelaskan dengan membenturnya iring-iringan meteor yang terdiri pecahan asteroid yang menghantam bumi, sebagaimana halnya dengan yang terjadi di Jupiter beberapa tahun yang lalu yang dibentur secara beruntun oleh Levy-Schumacher 9 yang terdiri dari iring-iringan 9 buah meteor.

Namun demikian, penafsiran ini perlu diteliti lebih lanjut sebagain”ground-check”, terutama meneliti ulang susunan dan kandungan dari lapisan batuan yang membentuk dinding kawah-kawah ini. Diketemukan adanya pecahan batu meteorite tentu akan membuktikan kebenaran ini. Ground check sekilas telah dilakukan pada semi-circle yang paling barat, yaitu sebelah barat sungai Cisaar, namun ternyata dinding kawah ini ditutupi hutan yang lebat, sehingga tidak diketemukan adanya singkapan untuk mengetahui susunan batuannya.

Jika benar geo-circles ini adalah kawah hantaman meteor, maka ini pertama kalinya diketemukan meteor crater di Indonesia. Di negara lain seperti Australia, Asia, Afrika, Eropa, Amerika bahkan di Antartika, sudah banyak diketemukan gejala ini, tetapi jumlahnya sekitar 100 –san (lihat gambar paling atas) Jika sendainya benar bahwa ’geo-circles” ini adalah disebabkan hantaman meteor (meteoric impact) ini mempunyai konsekwensi ekonomis, karena di Mexico suatu hantaman meteor bukan saja membentuk kawah tetapi juga meretakkan batuan di bawahnya dan telah membentuk reservoir minyakbumi. Namun tentu ini masih sangat spekulatif.

SEBUAH RIWAYAT YANG PERNAH TERJADI SEBAGAI HIPOTESA YANG TENTU SAJA HARUS MELALUI SEBUAH PENELITIAN YANG AKURAT..TERGANTUNG KITA MENYIKAPI SAJA HASIL HIPOTESA INI..TERIMA KASIH DARI PENULIS

Saturday, August 3, 2013

SEJARAH PABRIK GULA KADIPATEN

Kembali lagi mengekspose kadipaten dan segala bentuk masa lalu nya..maklum sebagai tanah kelahiran,hehe....

Kadipaten adalah sebuah kecamatan di kabupaten majalengka,jawa barat..sebuah kecamatan yang cukup ramai,karena kadipaten peran nya cukup sentral sebagai jalur alternative transportasi kendaraan yang menjadi akses masuk dan keluarnya kendaraan dari atau yang akan menuju ke jakarta atau yang akan menuju ke jawa tengah dan timur.

Kadipaten memiliki sebuah pasar yang ramai jauh mengalahkan pasar dari majalengka sendiri sebagai ibukota kabupaten nya,kembali lagi itu terjadi karena lokasi kadipaten yang sangat strategis sebagai jalur penghubung antar provinsi..selain pasar tradisional,kadipaten jg menjadi sentra perdagangan hewan ternak,karena di sana jg terdapat pasar ternak yang tentu saja meramaikan arus aktivitas ekonomi di sana.

Kadipaten semakin bertambah semarak dengan kehadiran berbagai macam industri yang mulai merambah masuk dan tentu saja akan menjadi sebuah indikator untuk keberhasilan kadipaten di masa yang akan datang..salah satu industri yang sempat di kenal yaitu industri bola sepak ber-merk TRIPLE-S yang letak pabriknya ada di desa liang julang,tak tanggung-tanggung produk mereka pernah di sepak oleh pemain-pemain bola besar yang berlaga di ajang piala dunia tahun 1998 dan 2002..(ari PS.ROBOT nganggo teu nya??...hahahaha)

Kantor kecamatan kadipaten justru tidak terletak di kadipaten nya,tp terletak di desa heuleut yang jg tampak tak lazim adalah kantor kecamatan yang biasanya terletak di alun-alun berdekatan dengan masjid raya nya,namun justru masjid raya nya yang bernama masjid nurul islam terletak di dekat jembatan yang menjadi perbatasan dengan kabupaten sumedang.

Dimasa lalu pernah dikenal nama tebu MARKONAH yang kualitas nya di kenal sangat baik untuk menghasilkan kualitas gula no 1 keluaran pabrik gula kadipaten dan kadipaten jg sempat memiliki stasiun kereta api yang menjadi penghubung antara kadipaten dengan cirebon yang terletak di perempatan kadipaten,perempatan ini lah yang menjadi titik sentral ke strategisan kadipaten karena menjadi jalur lintas provinsi....(sok urang kadipaten apal teu di mana urut jalan rel kereta api eta)......

-PABRIK GULA KADIPATEN

Orang kadipaten pasti tau pabrik gula kadipaten..yah sbuah pabrik yang di kabarkan cerobong nya di bangun pada tahun 1896..yang jelas jaman belanda ABAH ADI ajh belum lahir...hahaha

dan gedung pabrik nya sendiri baru di rampungkan secara keseluruhan pada tahun 1904..sebagaimana di tuliskan di dinding bangunan pabrik tersebut,bangunan yang sangat kokoh,sangat mengagumkan kontruksi bangunan yang telah berusia lebih dari satu abad itu terlihat masih sangat gagah menantang langit,di bagian dalam bangunan terdapat satu buah pohon beringin yang sangat besar sehingga puncak nya menutupi badan jalan..

pasokan tebunya berasal dari berbagai desa di kabupaten majalengka,tebunya diangkut menggunakan kereta yang oleh penduduk setempat di namai SETUM,di sela-sela waktu pengangkutan rel kereta SETUM itu juga di gunakan sebagai jalur transportasi kendaraan tradisional bernama GOTROK yaitu kendaraan yang di tarik oleh seekor kuda,pada masa jayanya lori-lori itu di tarik menggunakan 6 buah lokomotiv uap milik PG kadipaten bergantian selama musim giling.

Namun sekarang, rel-rel itu sudah diangkat seiring tidak beroperasinya lagi PG Kadipaten akhir tahun 1990-an. Semua lokomotifnya pun sudah dirusak. Bahkan, bangunan pabrik dan cerobong asapnya pun sudah diruntuhkan.

SUMBER : WIKIPEDIA

Thursday, August 1, 2013

SASAK MONJOT DAN SEJARAH DESA KADIPATEN

FOTO ABAH ADI

Suatu ketika gw bersama kawan gw yg satu ini,namanya abah adi,begitu dia biasa di panggil..mendatangi sebuah tempat yang menjadi perbatasan langsung antara kecamatan kertajati dengan kecamatan kadipaten,yaitu sasak monjot,sebuah jembatan yang berdiri di atas sebuah sungai yang lumayan bagus..sebuah sungai yg merupakan gabungan dua sungai yang begitu melegenda dan mempunyai jejak sejarah yang lumayan di kenal di kabupaten majalengka,yaitu cimanuk dan cilutung..

tempat ini dari jaman dulu tak pernah sepi oleh orang2 yang sekedar datang untuk melepaskan penat,bahkan tak jarang pasangan muda-mudi menjadikan tempay ini sebagai tempat bertemu karena mereka mungkin menilai tempat ini cukup romantis untuk memadu kasih....hahahaha

eceuk abah adi..hayang-hayang tapi era...hahahaha,MASALAH GITUH BUAT MAS PULLOH..!!!!

Dengan daya tarik yang alami,yang mampu mendatangkan respon khalayak seperti itu,saya beranggapan itu adalah sebuah potensi..sebuah prospek wisata yang begitu menjanjikan,banyak hal sebenarnya yang bisa di kembangkan jika saja ada investor yang mau merogoh dalam2 koceknya untuk melakukan pembenahan terhadap beberapa sudut tempat itu....

SEJARAH DESA KADIPATEN

Beberapa saat memandang sasak monjot yg eksotis dengan satu jembatan kuno peninggalan belanda di sebelahnya yang sudah tidak di fungsikan lagi itu,menggerakan pikiran saya untuk tau seperti apa sih sejarah masa lalu sasak monjot beserta sejarah kadipaten ini secara keseluruhan,dan setelah googling kesana-kemari akhirnya saya mendapatkan sedikit gambaran tentang sejarah desa kadipaten..

Menurut keterangan Aki Ambang ANDALI dan Jurutulis WINATA MIHARDJA yang saat itu sebagai pini sepuh Desa Kadipaten, menyatakan bahwa nama Kadipaten berasal dari nama Kadipatian. Sebelum mengetahui nama Kadipatian, kita tengok dulu sekilas sejarah Sumedang Larang.

Sekitar tahun 1601 M, Raja Sumedang Larang Prabu Geusan Ulun (Raden Angkawijaya) pulang dari Demak setelah menambah ilmu keislamannya, sebelum mencapai Sumedang beliau mampir dulu di Cirebon untuk bersilaturahmi dengan Pangeran Giri (Raja Cirebon). Pangeran Giri Laya menerima kedatangan Prabu Geusan Ulun karena dirinya masih satu keturunan dengan Sunan Gunung Jati. Rakyat dan keluarga kerajaan di Cirebon semua merasa segan (Ajrih) bahkan memuji kepada Prabu Geusan Ulun. Ini dikarenakan sikap prabu yang ramah, masyarakat juga ditambah dengan ketampanan Sang Prabu yang tiada duanya.

Disamping perasaan hormat yang lahir dari keluarga dan masyarakat Cirebon juga banyak yang tertarik hatinya oleh sikap dan ketampanan Prabu Geusan Ulun. Hal ini dialami bukan hanya oleh kaum wanita bahkan kaum laki-laki sekalipun. Menurut cerita, dari wajah Prabu Geusan Ulun mengeluarkan cahaya yang aneh hingga membuat orang yang melihatnya enggan berpaling karena terpesona. Pada suatu malam ketika Prabu Geusan Ulun sedang tidur di mesjid yang tidak ada pelita (lampu) penerangan, menjadi terang seperti cahaya pelangi. Hal ini diketahui oleh Baginda Giri Laya ketika beliau melaksanakan tahajud. Setelah diteliti ternyata cahaya tersebut keluar dari tubuh Prabu Geusan Ulun yang sedang tidur. Dengan hal itu maka Pangeran Giri Laya semakin hormat kepada Prabu geusan Ulun.

Setelah cukup istirahat di Cirebon, Prabu Geusan Ulun berbicara kepada Pangeran Giri Laya, bahwa besok hari beliau akan pulang ke Sumedang. Pembicaraan tersebut diketahui oleh Ratu Haris Baya (Permaisuri selir) Pangeran Giri Laya. Seperti halnya orang lain, terutama kaum wanita yang merasa tertarik dengan ketampanan Prabu Geusan Ulun, Ratu Haris Baya pun menyimpan perasaan yang sama, bahkan karena sudah tidak tahan dan takut kehilangan Prabu Geusan Ulun, kemudian ia memaksa ikut ke Sumedang. Walaupun dia sadar dan mempunyai suami, kemudian ia memaksa ikut ke Sumedang. Dia berkata, “Kalau tidak dibawa ke Sumedang niscaya keris ini akan menghabisi nyawa saya. Berbicara begitu sambil ujung keris dikenakan pada ulu hatinya”. Menghadapi situasi semacam itu Prabu Geusan Ulun sempat kebingungan, namun akhirnya setelah bermusyawarah dengan keempat Kanda Lante (Patih Kepercayaan Raja), beliau dengan sangat terpaksa memutuskan untuk membawa Haris Baya ke Sumedang.

Singkat cerita, Prabu Geusan Ulun pergi dengan membawa Ratu Haris Baya. Kepergian Prabu Geusan Ulun yang satu waktu dengan hilangnya Ratu Haris Baya menimbulkan kecurigaan dihati Pangeran Giri Laya hingga pada akhirnya Pangeran Giri Laya mengirim pasukan untuk menyerang ke Sumedang Larang. Ditengah-tengah perjalanan pasukan Cirebon beristirahat dulu di suatu tempat beserta Adipati Sawala, untuk nyawalakeun (bermusyawarah) mengatur strategi penyerangan. Dan sampai sekarang tempat tersebut menjadi Kampung Sawala. Setelah bermusyawarah dengan Adipati Sawala, pasukan Cirebon melanjutkan perjalananya. Namun, ditengah-tengah perjalanan bertemu dengan keempat Kandaga Lante yang sengaja menunggu pasukan dari Cirebon. Akhirnya tidak bisa dihindarkan lagi pertempuran terjadi antara keempat Kandaga Lante, yaitu; Sanghiyang Hawu (Embah Jaya Perkasa), Bantara Dipatiwijaya (Embah Nanganan), Sanghiyang Kondang Hapa, dan Batara Pancer Buana (Eyang Terong Peot) melawan pasukan Cirebon. Dan akhirnya pasukan Cirebon harus mengakui kepercayaan keempat Kandaga Lante tersebut yaitu Embah Jaya Perkasa. Mereka kalah dan yang masih hidup kocar-kacir pulang ke Cirebon. Dan senjata rampasan pasukan Cirebon dibuang di dekat jembatan Monjot.

Setelah kejadian pertempuran tersebut, selanjutnya pangeran Giri Laya mengirim surat ke Prabu Geusan Ulun supaya Haris Baya dikembalikan ke Cirebon, namun Haris Baya menolak dan ingin tetap bersama Prabu Geusan Ulun di Sumedang. Karena tidak ada lagi jalan lain yang lebih baik selain talak (cerai), akhirnya Pangeran Giri Laya atau Raja Cirebon melakukan talak kepada Ratu Haris Baya, untuk menebus talak tersebut Prabu Geusan Ulun menyerahkan wilayah Majalengka termasuk Kadipatian (Kadipaten sekarang) kepada Pangeran Giri Laya.

Desa Kadipaten sejak dulu berada di Kampung Liangjulang, sehingga nama desanya pun disebut Desa Liangdjoelang yang saat itu dipimpin oleh seorang Kuwu bernama SIPAH. Namun dalam kekuasaannya berada dibawah kekuasaan Demang Karangsambung.

Pada tahun 1842 Kuwu SIPAH meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah selatan Kampung Liangdjoelang yang sekarang terkenal dengan julukan (sebutan) Pasarean Embah SIPAH.

Selanjutnya setelah Kuwu SIPAH meninggal dunia, Demang Karangsambung membentuk Panitia untuk memindahkan Kantor Desa Liangjulang ke sebelah utara, yang sekarang disebut Kampung Jatiraga. Dalam pelaksanaan pembangunan Kantor Desa yang baru tersebut, ada salah satu bahan materialnya menggunakan sebatang pohon jati bekas bangunan kantor desa yang lama (Desa Liangdjoelang). Batang pohon jati bekas tersebut dibawanya ke sebelah utara melalui Sungai Cilutung, kemudian dinaikkan ke atas rakit, lalu dihanyutkan. Batang kayu jati tersebut diterima di Kampung Cikempar oleh kedua tokoh masyarakat yang bernama PURADJATI dan WIRADJATI. Setelah kayu tersebut dibawa ke daratan, kemudian di arak ke tempat yang direncanakan dengan diiringi berbagai macam kesenian tradisional seperti Dog-dog, Angklung, Bende dan lain-lain.

Sebelum pelaksanaan pembangunan kantor desa dimulai, karena pada saat itu masih banyak aliran kepercayaan nenek moyang yang masih kuat, maka sebelum batang kayu jati tersebut digunakan, terlebih dahulu batang kayu jati bekas tersebut dikawinkan dengan pohon jati yang masih hidup sambil membaca do’a dan memohon kepada Allah SWT, agar masyarakat, pemimpin, dan aparat desanya mendapat lindungan dari Yang Maha Kuasa. Selanjutnya, Kampung yang akan ditempati bangunan kantor desa yang baru, diberi nama Kampung Jatiraga yang artinya Raga Batang Pohon Jati. Setelah selesai pembangunan kantor desa yang baru, Demang Karangsambung menyerahkan kekuasaannya kepada pihak yang berwenang (pemerintah) untuk diadakan pemilihan kuwu, dan ternyata yang terpilih menjadi Kuwu pertama pada tahun 1842 adalah Bapak MARSAN dengan nama desanya masih tetap Desa Liangjulang.Setelah Embah PURADJATI dan WIRADJATI meninggal dunia, kedua orang tersebut selanjutnya dimakamkan di Blok Cikempar sehingga terkenal dengan julukan Pasarean Embah Buyut Cikempar. Dan sekarang makam tersebut dipindahkan ke Buyut Jatiraga.

Menurut keterangan Bapak Achmad BS (umur 75 tahun) sebagai tokoh masyarakat Desa Kadipaten, di sebelah Barat Kampung Jatiraga atau sebelah barat kantor Desa Kadipaten ada hamparan sawah dan saluran air atau solokan yang menuju jembatan Ciani, dipinggir-pinggirnya ditanami pohon pandan, hanjeli, kaso-kaso, bambu, dan pohon dadap cangkring. Maksud dari penanaman pohon tersebut yaitu untuk memperkuat tanah agar tidak terjadi erosi dan dapat menyerap air. Sehingga dari pohon Dadap Cangkring itulah diambil nama Kampung Cangkring.

Disebelah Timur Kantor Desa Kadipaten terdapat sekolah desa yang terdiri dari kelas 1, 2 dan 3, sedangkan untuk kelas 4 dan 5 berlokasi disebelah timur atau lebih dikenal dengan komplek sekolah yang diperuntukkan bagi pendatang Cina atau masyarakat lainnya. Dan disekitar kompleks sekolah tersebut terdapat pohon yang buahnya bernama gordah, buah tersebut berbentuk murbei sebesar muncang (kemiri). Sehingga dari nama buah tersebut menjadi Kampung Gordah yang terpisah dari Kampung Babakan Cikempar.

Dahulu di Kadipaten ada sebuah Pabrik Gula yang berdiri pada tahun 1876 di masa penjajahan Belanda dalam bentuk perseroan terbatas dengan sebutan suiker pabrick dimana pada permulaan beroperasi hanya menggunakan alat-alat sederhana. Dan pada tahun 1896 terjadi perombakan dan perluasan pabrik yang dilakukan oleh orang-orang Belanda dan Prancis. Dan yang memiliki pabrik tersebut terdiri dari tiga orang, yaitu; Ny. JF de Vogel istri tuan Disderk Lucas, Ny. Willemine de Vogel istri tuan Charles Fortune dan Jr. Julius Chorlotte de Vogel.

Salah satu sarana angkutan tebu dari kebun dan hasil Pabrik Gula Pada waktu itu hanya menggunakan alat transportasi yang sederhana yaitu lori dan pedati dengan menggunakan tenaga kerbau, Karena pedati dan lori itu banyak maka kerbaunya didatangkan dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Diantara bukti salah seorang pengusaha pedati adalah Babah Kim An, yang dulu rumahnya di Doar sebelah Barat SDN I Liangjulang, pada suatu ketika ada wabah penyakit Tipes yang mengenai kerbau tersebut, sehingga kerbau-kerbau tersebut banyak yang mati dan dikuburkan disatu tempat, yaitu di sebelah utara Pabrik Gula. Setelah dijadikan satu kampung karena bekas penguburan kerbau yang terkena penyakit Tipes, maka kampung tersebut sampai sekarang dinamakan Kampung Babakan Tipes. Dan yang lebih menarik pada saat pengangkutan gula/tebu ke Cirebon, maka kerbaunya akan menjadi hak milik pengangkut, disamping mendapat upah dari hasil panen tebu.

Dahulu sebelah Barat Babakan Tipes ada suatu hamparan tanah yang sangat luas sepanjang aliran sungai Cilutung, dan oleh pendatang tanah tersebut dibabak-babak menjadi kampung sehingga menjadi Kampung Babakan Cikempar. Dan sebelah Barat Gordah waktu itu banyak yang membuat oncom seperti Bapak Karta, Bapak Narta dan yang lainnya. Sehingga kampung tersebut menjadi Babakan Oncom, namun sampai sekarang Babakan Oncom berubah nama menjadi Babakan Cikempar.

Sejak dulu para pedagang Cina dari Indramayu berlayar melalui Sungai Cimanuk dan berlabuh di suatu tempat sambil membawa terasi, garam, dan ikan asin untuk dijual. Kemudian orang-orang dari pegunungan atau Maja dan sekitarnya juga membawa hasil bumi, sehingga terjadi transaksi jual beli disuatu tempat sambil menetap di Pasanggrahan Yang dilewati Jalan Raya Daendales dari Dukuh Bitung, Dukuh Warung dan Dawuan. Karena mereka sambil berjualan dan yang menetap disana semakin banyak dan akhirnya ada satu tempat untuk perkampungan dan menjadi Babakan Anyar. Dengan telah banyaknya orang-orang Cina berjualan, maka untuk mengembangkan perdagangannya mereka mengarahkan perdagangannya ke arah Pabrik Gula atau mendekati Pabrik Gula, sehingga mereka berjualan di Pasar Lawas dan sampai sekarang kampung tersebut menjadi Blok Pasar Lawas.

Disebelah Barat Pasar Lawas ada sebuah kampung yang sedang dilanda musibah atau wabah penyakit, sehingga banyak warga yang mati mendadak dan obatnya pun sulit di dapat. Suatu ketika ada seseorang yang berilmu tinggi dari Cirebon bernama Sarjiah dan mengetahui akan hal itu. Maka dia langsung memberitahukan pada warga, bahwa warga kampung tersebut terkena teluh atau guna-guna. Selanjutnya dia langsung mengobatinya dengan jampi-jampi dan akhirnya warga dapat diselamatkan dari musibah tersebut. Sehingga sampai sekarang Kampung tersebut namanya menjadi Telukjambe atau teluh dijampe. Setelah orang tersebut meninggal dunia, selanjutnya orang sakti tersebut dimakamkan di Kampung Telukjambe Utara, sehingga terkenal dengan julukan Pasarean Mbah Buyut SARJIAH.

Sebelah timur Pasar Lawas yang dibatasi oleh Sungai Cikasarung ada dua jenis tanah liat, yang pertama berwarna kuning yang disebut dengan tanah porang dan kedua berwarna hitam atau biasa disebut tanah lempung. Oleh masyarakat kedua tanah tersebut diolah menjadi genting, coet atau gerabah. Dan tempat membuat gerabah tersebut disebut Anjun (Panjunan). Jadi nama Kampung Anjun diambil dari nama tempat pembuatan gerabah. Dan sampai sekarang sisa-sisa pembuatan gerabah masih ada.

Lapang Sedar adalah tanah titisara desa yang berlokasi di Blok Sawala, sekitar tahun 1950 beberapa orang tua sangat peduli terhadap para pemudanya dalam bidang kesenian dan olahraga, diantara orang tua tersebut bernama Bapak Misran dari Sawala dan Bapak Wilastra dari Babakan Tipes serta beberapa orang tua lainnya. Mereka terhimpun dalam salah satu paguyuban para pedagang pasar Kadipaten yang dinamakan Serikat Dagang Rakyat. Mereka mengusulkan ke desa, agar tanah titisara dijadikan tempat lapang sepak bola, oleh Pemerintahan Desa permohonannya dikabulkan. Sehingga nama lapang diambil dari singkatan Serikat Dagang Rakyat jadi Sedar. Jadi sampai sekarang lapang tersebut menjadi Lapang Sedar. Dan yang perlu diketahui bahwa Bapak Misran adalah salah seorang aktivis Partai Sosialis Indonesia (PSI) sehingga pada tahun tersebut Lapang Sedar pernah didatangi Dr. Sutan Syahrir berpidato. Kemudian Lapang Sadar berdasarkan kebijakan Pemerintah Desa Kadipaten hasil dari Musyawarah LMD dan LKMD pada zaman Kuwu Machpud ( 1984 – 1993), dijadikan nama Kadus IV SEDAR KARYA.

Lapang Sedar pada tahun 2006 ditata dan dibangun dari dana APBD Kabupaten Majalengka, sehingga menjadi sarana yang cukup representatif untuk berbagai kegiatan masyarakat atau pemerintahan. Sebagai sarana olahraga terutama lapang sepak bola, juga dari dahulu digunakan untuk kegiatan upacara hari-hari besar nasional (PHBN) oleh Pemerintah Kecamatan Kadipaten, jadi seluruh upacara PHBN dari tujuh desa dipusatkan di lapangan Sedar. Manfaat lain sewaktu-waktu digunakan untuk tempat hiburan masyarakat diantaranya Komedi Mini, pasar malam, pergelaran wayang golek, pementasan musik dangdut atau hiburan lainnya. Perlu juga diketahui di sebelah timur dari lapang Sedar diperuntukan untuk lingkungan pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) yaitu SD Negeri 3 Kadipaten dan SD Negeri 7 Kadipaten dan sebelah selatan ada satu Taman Kanak-kanak (TK) Budi Asih yang bertempat di bekas bangunan Kantor Kecamatan Kadipaten dan sebelahnya ada Kantor KORAMIL 1717 Kadipaten dan sebuah pusat kesehatan masyarakat yaitu Puskesmas Pembantu Cabang dari Puskesmas Kamun. Oleh karena itu, Lapang Sedar menjadi pusat olahraga, pendidikan, hiburan, dan pusat pemerintahan desa juga kecamatan.

Sebelum menjadi Kampung Ampera daerah tersebut dinamakan Pacinan yaitu tempat tinggal warga yang kebanyakan penduduknya keturunan Tionghoa atau Cina, karena mereka kebanyakan bermata pencaharian sebagai pedagang. Dan sekarang Pacinan lebih dikenal dengan sebutan Ampera.

Pergantian nama Pacinan menjadi Ampera agar tidak terkesan eksklusif dan dapat berbaur dengan pribumi.

Sumber : http://almadjid.wordpress.com/2007/12/30/sejarah-desa-kadipaten/ download 7 Juli 2010

Tuesday, July 30, 2013

SEKILAS TENTANG MAJALENGKA

Sebagai sebuah kabupaten di jawa barat nama majalengka memang kurang begitu di kenal oleh masyarakat secara luas,letak geografis serta kehidupan masyarakatnya harus diakui masih tertinggal di bandingkan dengan kabupaten yang lain yang ada di jawa barat.. Majalengka sebenarnya mempunyai jejak historis yang lumayan panjang,dari hasil sebuah penelusuran sejarah di mulai dari adanya babad kerajaan ketumenggungan..(TALAGA),di yakini bahwa kabupaten majalengka baru ada sejak adanya kabupaten maja..(1819 Berubahnya kabupaten maja menjadi majalengka..(1840),sekaligus mengukuhkan keyakinan bahwa tidak benar adanya bahwa kerajaan sindang kasih menjadi kerajaan majalengka pada jaman nya pangeran muhhamad,bahwa juga kota majalengka baru ada setelah dipindahkan nya ibu kota kabupaten maja ke bagian wilayah sindang kasih,serempak dengan penamaan wilayah sindang kasih tersebut..(khusus yang menjadi ibu kota) dengan nama majalengka sesuai dengan nama kabupaten nya.

Nama majalengka sendiri berasal dari nama kuno yang biasa dipakai untuk mengucapkan secara sinonim kata "maja-pahit" atau "maja-langu" majalengka berarti maja-pahit, buah maja yang pahit, karena ada juga buah maja yang manis (maja legi). Lengkit (leng dalam lengkap) artinya sama dengan pahit atau langu. Maja yang pahit itu berenuk (Crescentia cujete). Maja yang manis (maja legi atau maja batu atau Aegle marmelos) bisa dimakan dijadikan sirup, maja yang pahit (berenuk) tidak bisa dimakan, tapi biasa digunakan untuk obat malaria (sebelum kina ditemukan Junghuhn).

Dalam bahasa Sansekerta buah maja itu disebut “bilva”, sementara pahit disebut “tikta” (lihat kamus Inggris-Sansekerta online). Kata “bilva” itu berubah jadi “wilwa” dalam tuturan Indonesia-Jawa; majapahit = wilwatikta. Bilva= bael = buah dari Bengali, India. Bilva (bael) sendiri itu maja legi (buah maja yang manis).

Keberadaan kabupaten maja yang ibukotanya di maja itu tidak banyak bukti peninggalan sejarah nya, bupati terakhir kabupaten maja sebelum berubah nama menjadi majalengka di ketahui bernama Raden tumenggung Dendanegara (1819-1848), yang konon makamnya berada di daerah gunung wangi yang kemudian oleh penduduk setempat di namai Dalem kiai, Jalan raya utama Maja -Cirebon adalah jalan raya Maja (kantor bupati), ke utara, berbelok ke kanan melewati jembatan Cirungkut (Cibuni, Cigede–kata orang Babakan Jawa Maja) melewati Blok Saptu terus ke Cileungsi Paniis, Cicalung, Ciomas, Padahanten, Sukahaji, Rajagaluh, Leuwimunding, Banjaran, Palimanan, Plumbon, Cirebon). Jadi jalan itu akan cocok diberi nama Jalan Raden Tumenggung Dendanegara...

ini adalah sebuah sejarah yang terus di kumpulkan ceritanya dari rangkaian potret masa lalu yg di himpun dari informasi sepotong-sepotong..jadi mohon jika ada perbedaan silahkan di koreksi untuk perbaikan

JEJAK SEJARAH KABUPATEN MAJA..(PABRIK TEH ARGALINGGA)

Sekali pernah tertemukan foto jaman baheula (jadoel) rumpun bamboe (bamboedos) di Argalingga. Yang memotret Urang Walanda, tentu. Artinya itu foto jaman ketika Belanda masih sedang bercokol di Indonesia. Menarik. Kenapa hanya rumpun bambu saja kok difoto? Itu barang aneh bagi orang Belanda, tentu. Di Belanda tidak ada pohon bambu, soalnya. Di Inggris ada sih pohon bambu raksasa, sangat amat besar sekali, bambu besar kehijauan bergaris-garis putih, tapi cuma dalam “kurungan tenda kaca” berpemanas ruangan yang tembus pandang. Lupa-lupa ingat tempatnya, kayaknya di Kebun Raya Inggris yang bernama Kew Garden. Di situ ada juga ikan kancra yang bukan main gedenya. Jelas bukan kancra dari Maja. Hehehe. Ikan kancra Maja mah “karecil,” da sudah agak besar sedikit aja, langsung dijual. Butuh duit, gitu. Mending kalau terjual, kadang kala “dipalingan ku batur,” dan dimakan “sero.” (Wah, kok tidak ada foto “kokolotokan” di pancuran “balong”, ya!) Foto bambu karya orang Belanda itu jadi mengingatkan pula pada bahwa pada jaman Belanda akhir di Argalingga itu ada perkebunan teh. Orang Belanda mendirikan pabrik teh di Argalingga, dan tentu tinggal di situ (sejuk sih, kayak di Belanda), dan jadilah memotret bambu yang ada di situ, sebagai sesuatu yang menarik. Perkebunan teh itu sekarang tinggal bekas-bekasnya saja. Konon kata yang sering mendaki Gunung Ciremay lewat jalur Apuy, bekas perkebunan itu sudah jadi kebun sayur mayur.

RUMPUN BAMBU DI ARGALINGGA 1920

Rumpun bambu di Argalingga [foto 1920; koleksi Tropenmuseum]

Melacak kembali “sejarah” pabrik teh Argalingga itu ternyata tidak mudah. Sudah dicoba dengan bahasa Ingggris, tak ada. Dengan bahasa Belanda, walau saya tak banyak paham tentangnya, hanya satu dua kata saja, juga susah sekali. Saya coba lacak karena ternyata foto-fotonya, alhamdulillah, ada beberapa yang bisa ditemukan. Andaikata saya Bupati Majalengka, saya akan “rekonstruksi” kembali pabrik itu, walau dengan modal besar, untuk jadi objek wisata sejarah. Jangan sampai ditelantarkan seperti pabrik gula Kadipaten dan Jatiwangi. Mestinya dipelihara sebagai peninggalan sejarah. Jadikan “suaka purbakala” walau tidak terlampau “kuno”–untuk masa sekarang, untuk nanti di kemudian (50 tahun kemudian), itu akan jadi sejarah benar-benar. Di Talaga terlacak, dalam bahasa Belanda, ada pabrik teh Tjareng. Ada “amtenar” Belanda yang pernah tinggal di situ dan keluarganya berceritera di internet. Belum terlacak ceritera lanjutnya, apalagi foto-fotonya. Jadi, yang di Argalingga ini termasuk istimewa, masih bisa terlacak,tapi di mana sebenarnya letak pabrik itu..mungkin penduduk argalingganya lebih tau,saya kuatir sudah tidak ada lagi bekas-bekasnya,tapi mungkin bekas-bekas pondasinya masih ada..siapa tau?????

MAJA TEMPOE DOELOE

Tidak banyak yang diketahui tentang Maja (atau Kabupaten Maja) baheula. Saya harus menggunakan istilah Kabupaten Maja karena foto-foto yang terlacak dari koleksi Tropenmuseum ini tidak seluruhnya saya kenal ada di Maja (desa) atau Maja (kecamatan– sebelum dipecah dua menjadi Maja dan Argapura). Kabupaten Maja Versus Kabupaten Majalengka Nah, supaya sambung ihwal Kabupaten Maja dan Majalengka, berikut paparannya. 1. Kabupaten Maja dan Ibukotanya Mulai tanggal 5 Januari 1819 nama Maja dijadikan nama kabupaten (Kabupaten Maja), yang bersama-sama dengan Kabupaten Cirebon, Bengawan Wetan (Palimanan/Indramayu selatan?), Kuningan, dan Galuh (Ciamis), berada di dalam (termasuk ke dalam) Karesidenan Cirebon (Residentie van Cheribon). Tanggal 5 Januari 1819 itu pembentukan Karesidenan Cirebon dengan keregenan seperti disebutkan di atas.Kabupaten Maja itu mencakup wilayah (yang mungkin tadinya “regenschaft–kemudian jadi distrik) Maja, Sindangkasih, Talaga, Rajagaluh, Palimanan dan Kedondong. Diduga ibu kota Kabupaten Maja itu “kota” Maja juga. Lihat peta “Kabupaten/Regenschaft Madja” dan analisis di bawah! Sesuai peta, hanya ada dua pilihan untuk disebut ibu kota: Maja atau Talaga. Maja lebih rasional: Nama kabupatennya Maja, ibu kotanya juga Maja. Bengawan Wetan selanjutnya tampaknya bergabung jadi Maja, sementara Indramayu “wilayah partikulir” mulai masuk ke dalam Karesidenan Cirebon (lebih tepat Bengawan Wetan yang ada di utara Cirebon sekitar Gegesik –bukan Palimanan — jadi Indramayu atau Cirebon.

Kabupaten Maja. Batas utara jalan raya karang sambung-jamblang.batas timur garis membelah Ciremay (Jamblang – “regenschaft” Talaga), batas selatan garis di bawah “regenschaft Telaga,” batas barat garis tebal perbatasan Karesidenan Cirebon dan kabupaten Sumedang. Ada dua nama kota di dalamnya: Maja dan Talaga.

PERUBAHAN NAMA KABUPATEN MAJA MENJADI MAJALENGKA

-legalitas

Mulai 11 Februari 1840 nama Kabupaten Maja diubah menjadi Majalengka. Besluitnya berbunyi: Verandering van den naam van het regentschap Madja (residentie Cheribon), alsmede van den zetel van hetzelve, thans genaamd Sindang-Kassie, in dien van Madja-Lengka. “Verandering” [perubahan] “van de naam” [nama] “van het regentschap Madja (residentie Cheribon)” [keregenan/kabupaten Madja (karesidenan Cirebon)], “alsmede” [sekaligus juga] “van den zetel van hetzelve” [tempat kedudukannya], “thans genaamd Sindang-Kassie” [yang saat sekarang ini bernama Sidangkasih],” in dien van Madja-Lengka” [untuk selanjutnya (diberi nama) Majalengka). Ibu kota, yang dalam bahasa besluit disebut "tempat kedudukannya" (den zetel van hetzelve), yaitu kedudukan keregenan atau pemerintahan Kabupaten Majalengka yang "sekarang ini" (bahasa Belandanya "thans," alias pada saat itu) bernama Sindangkasih ["thans genaamd Sindangkassie") diubah nama juga menjadi Majalengka.

Peta Junghuhun (potongan). Sindangkasi sama dengan Majalengka. Perhatikan pula tulisan "aardolie" (minyak bumi--eksplorasi minyak bumi pertama di Indonesia) yang ada di antara Sungai Cimanglet (Cilongkrang?) dan Cibodas) yang bermuara ke K-Leeton (Cilutung) Jika merujuk peta "Kabupaten Maja" di atas, dan peta kota Sindangkasih (Majalengka) Junghuhn di atas, itu berarti bahwa semula ibu kota Kabupaten Maja itu di Maja, bukan di Sindangkasih. Banyak orang menduga, dari membaca besluit yang sama yang menyebut nama Sindangkasih sebagai tempat kedudukan keregenan yang kemudian diubah menjadi Majalengka seiring perubahan nama Kabupaten Maja menjadi Majalengka itu, ibu kota Kabupaten Maja itu Sindangkasih. Bahkan ada yang menyebut Kabupaten Majalengka itu sama dengan Kabupaten Sindangkasih (suka ditulis Kabupaten Majalengka atau Sindangkasih---salah besar, tidak ada nama Kabupaten Sindangkasih). Maja dipilih sebagai ibu kota kabupaten diduga karena hawanya yang sejuk. Bagi orang Belanda kesejukan itu perlu dan penting, sesuai dengan iklim daerah asalnya. Lebih-lebih karena bisa pula "naik gunung" ke Argalingga mencari udara yang lebih dingin.

Tampaknya (hipotetis) ada pemikiran pada Pemerintah Belanda ketika itu untuk memindahkan ibu kota Keregenan Maja itu ke tempat lain, yang lebih "datar" sehingga lebih luas untuk pengembangan kota. Maja tidak representatif untuk dikembangkan jadi kota karena berbukit-bukit. Tempat yang terpilih berada di "wilayah Sindangkasih" (bukan desa Sindangkasih sekarang, tapi termasuk bagiannya). Salah satu pertimbangannya pasti ada jalur jalan (dari Karangsambung menuju ke Maja, Talaga, dan juga Kawali--lewat Sindangkasih sekarang, lalu melalui Kulur, Cieurih, Pasanggrahan, Anggrawati dst.).

-SINDANG KASIH versus MAJALENGKA

Seiring dengan perubahan tempat ibu kota, bukan di Maja lagi, maka nama kabupaten itu perlu diberi nama baru. Jika menggunakan nama "daerah yang baru" (Sindangkasih), akan bertabrakan nama dengan banyak nama Sindangkasih (Karawang, Ciamis, Beber Cirebon). Lalu dipilih tetap menggunakan nama Maja, akan tetapi harus ditambahi "tambahan kata" agar tidak tabrakan dengan nama Maja yang sudah tidak jadi ibu kota lagi. Hipotetis: Setelah berdiskusi, tertemukanlah kemudian nama "Majalengka" dari para ahli yang tahu babad Majapahit. Majapahit (kerajaan) itu suka juga disebut Majalengka. Majalengka sama makna dengan majapahit. Dalam bahasa Sansekerta kerajaan Majapahit itu suka disebut juga Vilvatikta atau Wilwatikta. Vilva (wilwa atau bilwa) itu buah maja; tikta artinya pahit. Nama Majapahit sudah jauh lebih populer dibandingkan nama aliasnya, yaitu Majalengka. Dengan kata lain, nama Majalengka dalam berbagai "literatur" sudah tidak digunakan untuk menyebut nama Majapahit. Maka, karena ada persamaan ihwal buah maja (yang pahit itu), digunakanlah nama itu. Akhirnya, jadilah, per 11 Februari 1840 berdiri "kota" Majalengka sebagai ibu kota ("tempat kedudukan keregenannya" atau "den zetel van hetzelve") yang baru dari Kabupaten Majalengka, yang semula termasuk wilayah Sindangkasih. Dengan kata lain, daerah "tempat kedudukan pemerintahan" Majalengka yang bernama Sindangkasih itu, dipisahkan dari desa Sindangkasih semula. Bahasa lainnya, desa Sindangkasih dimekarkan menjadi ada Sindangkasih dan ada Majalengka. Ini seperti Kecamatan Majalengka dulu yang sekarang dimekarkan menjadi Kecamatan Majalengka dan Cigasong. Tampaknya begitu. Lihat juga peta "kota" Sindangkasih (Majalengka) versi Junghuhn (1860-an) di atas, disajikan pula di bawah berikut. Tertulis: Sindanglasi (Madja Lengka). Maksudnya, tadinya Sindangkasih, sekarang menjadi Majalengka.

Desa ("Kota") Sindangkasih (tempat kedudukan kebupatian yang baru) berubah nama menjadi desa ("kota") Majalengka tahun 1840 (dipetakan Junghuhn tahun 1860) Jadi, desa (kota) Majalengka itu berdiri dengan besluit (surat keputusan) Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggal 11 Februari 1840, sebagai nama pengganti dari nama semula Sindangkasih (bagian dari desa Sindangkasih). "Kampung Sindangkasih" asli (di posisi desa Sindangkasih sekarang) kemudian dijadikan tempat kedudukan pemerintahan desa Sindangkasih yang baru sampai sekarang. Tampaknya urutan sejarahnya demikian. "Desa" (kota) Majalengka kemudian (belum terlacak tahunnya) dimekarkan lagi menjadi Majalengka Wetan dan Majalengka Kulon. Seperti desa Maja yang dimekarkan menjadi Maja Kaler dan Maja Kidul.

-MAJA ATAU TALAGA SEBAGAI IBUKOTA KABUPATEN MAJA

Di bawah ini--seperti telah disinggung di muka--peta "Kabupaten Maja" (benar-benar tertulis Madja) dengan dua kota besar saja yang ada di dalamnya, yaitu Madja dan Telaga. Walau dibuat tahun 1841 dan diterbitkan 1842, tampaknya perubahan pada tahun 1840 (Maja menjadi Majalengka, dan Sindangkasih menjadi Majalengka) itu belum sampai pada pembuat peta, sehingga masih bernama Madja dan ibu kotanya belum Sindangkasih (Madjalengka). Perhatikan garis jalan raya (yang tertulis "Post ...... Weg") dari Karangsambung ke Jamblang yang menjadi batas utara Kabupaten Maja. Dari Jamblang naik ke Gunung Ciremay menembus sampai dengan "regenschaft" Telaga (tulisan besar dekat garis), terus ke barat ke perbatasan Karesidenan Cirebon dengan Karesidenan Priangan ("Kabupaten Sumedang")--garis tebal yang ada warna pink. Dari "postweg" (jalan raya) Karangsambung ke selatan (bawah peta) tidak ada "kota" apapun (Kadipaten, Sindangkasih atau Majalengka). Hanya ada dua lingkaran kecil dengan masing-masing bertuliskan "Madja" dan "Telaga." Itu sebabnya dapat disimpulkan bahwa ibu kota Kabupaten Maja itu Maja, bukan Sindangkasih. Tidak logis juga jika ibu kotanya Talaga, karena tak tersebut-sebut dalam besluit ada perpindahan ibu kota (tempat kedudukan kebupatian atau keregenan) dari Talaga ke Sindangkasih. Ibu kota Maja tidak disebut, karena tampaknya dianggap otomatis tersirat dalam nama Kabupaten Maja. Dalam besluit disebut dengan kata "thans" (yang sekarang ini--saat "dipindahkan"), bukan yang tadinya atau dahulunya ("vroeger" atau "eerst") bernama Sindangkasih.

MAJALENGKA KOTA GUE..SALAM KOMPAK SELALU BUAT SEMUA WARGA MAJALENGKA DI MANAPUN KALIAN BERADA

-KOTA LUMAJU : LOH MAJA

Ibu kota Kabupaten Maja, seperti telah disebutkan di atas, kalau tidak Maja ya Talaga. Talaga itu adanya di (semula) "regenschaft Telaga" seperti tampak dalam peta (di bawah nama "kota" Telaga), dan disebut-sebut pula keberadaanya dalam batas-batas wilayah Kabupaten Maja (tercakup ke dalam Kabupaten Maja) dalam besluit pendirian Karesidenan Cirebon yang salah satu kabupatennya Maja (5 Januari 1819). Ada dua "regenschaft" yang disebut-sebut dalam batas-batas wilayah Kabupaten Maja dan lainnya, yaitu "regenschaft Rajagaluh" dan "regenschaft Talaga." Tampaknya itu pengakuan akan adanya wilayah eks" ketumenggungan ("kerajaan" bagian dari Kerajaan Galuh/Pakuan-Pajajaran) di situ. Perhatikan peta Junghuhn di atas. Ada jalur jalan raya dari "Cirebon" sampai Maja, dan tidak terus ke Talaga. Jalur jalan dari Majalengka ke Maja dan Talaga pun kecil saja (garis tunggal). Itu artinya Maja memang ibu kota Kabupaten Maja, bukan Talaga. Residen Cirebon jika akan inspeksi ke Kabupaten Maja ya datangnya akan ke Maja, bukan ke Talaga. Jika ibu kota Kabupaten Maja itu Maja, maka dapat dianggap juga bahwa adanya "kota" (desa) Maja secara yuridis-formal sebagai ibu kota Kabupaten--sementara, sebelum sejarahnya terlacak lebih jauh--itu mulai tanggal 5 Januari 1819. Andaikata nama Dalem Lumaju Agung itu mengikuti nama kampung atau wilayah, seperti Dalem Jero Kaso yang disebut demikian karena memimpin kampung Jero Kaso Maja, maka desa (daerah) Maja itu dulunya bisa jadi bernama desa Lumaju. Kata Agung (Ageng) merupakan tambahan kepada gelar Dalem, karena Dalem Lumaju benar-benar agung. Jadilah sesebutannya (bukan nama aslinya) "Dalem" (yang memimpin daerah kadaleman) "LUMAJU" yang "agung" (Dalem Lumaju Agung/Ageng). Dari asal mula bernama "LUMAJU," lama-lama berubah menjadi MAJA. Jauh juga, ya! LUMAJU, LUMAJA! Stop: Bisa jadi nama Lumaju itu asal mulanya "LOH MAJA" (tanah daerah yang banyak ditumbuhi tanaman maja). Maja atau berenuk? Silakan baca: "Maja ta Berenuk?" dalam page Bongkok-Ciremay. Ini seperti "Loh Asri" yang lalu menjadi "Losari." Kata Lohasri ke Lohsari, lalu ke Losari itu dekat sekali. Tetapi "lohmaja" menjadi "lumaju" memang agak jauh. Tapi, jauhan mana "Hujung Barang" kata Bujangga Manik (Prabu Jaya Pakuan) menjadi "Ujung Berung" kata urang Rajagaluh, dengan "loh maja" menjadi "lomaja" menjadi "lomaju" menjadi "lumaju." Coba tuliskan kata "lohmaja" itu dengan aksara pegon (Arab-Sunda-gundul alias tanpa syakal). Akan tertulis "lam-wawu-ha" (maunya "loh" bisa terbaca "luh"). Lalu "maja" akan dituliskan "mim-alif (panjang) dan jim" (maja, bisa juga maju). Atau kita kembalikan saja nama Dalem Lumaju Agung itu ke "khiththahnya." "Maja" kembali ke "Lohmaja (Lomaja)," sehingga "Dalem Lumaju Agung" menjadi "Dalem Lohmaja (Lomaja) Agung." Keun siah, urang Maja dibikin parusingeun ku uing tah si urang Babakan Jawa Maja. Komo "urang Sindangkasih" mah! Di mana "bekas-bekas" kantor Kabupaten Maja? Saya "curiga" dengan bangunan selatan alun-alun Maja yang pernah dipakai markas tentara Diponegoro (Batalyon 476) yang membangun "tugu" di depannya sekitar tahun1958 ketika sedang "perang" dengan DI/TII. Mungkin juga bangunan itu pernah dijadikan markas tentara Belanda ketika perang "actie I" yang salah satu peletonnya bermarkas juga di Argalingga (mengawasi perkebunan tebu?--jangan-jangan yang dimaksud perkebunan teh). Tentang ini silakan baca di bawah. Bangunan dimaksud pernah dipakai oleh SPP-SPMA Kabupaten Majalengka di Maja. Kantor bupati itu jangan dikira sangat mewah seperti istana. Ini contohnya di bawah: rumah Bupati Sumedang Pangeran Aria Suriaatmaja (1915-1922) yang juga amat sederhana saja (dilihat dari kaca mata sekarang). Jika yang tahun 1920-an saja seperti itu, tentu lebih-lebih lagi bangunan tahun 1819-1840.

SEKALI LAGI TENTANG SINDANG KASIH

Agar adil, tidak mengadili dengan “tak sengaja,” Februari 2011 ini tertemukan peta Belanda kuno juga. Di dalamnya ada Sindangkasih, walau tulisan tepatnya tidak begitu jelas, tapi tetap bisa diduga itu Sindangkasih. Hanya saja, dari letaknya tidak begitu jelas ini Sindangkasih mana, Beber, ataukah Majalengka? Lihat perbandingannya dari Karangsambung di sebelah kanan pnadnagan kita pada peta. Di kiri atas ada juga Kuningan. Di sebelah atas Sindangkasih ada nama “kota” juga, tapi tak jelas apa. Tidak tampak tertulis seperti “Telaga.” Ini peta besarnya, saya krop (potong) yang berkaitan dengan Cirebon saja.

Peta Wilayah Cirebon

Lihat gunung Ciremay (De berg “Sirmeij”). Turun ke bawah ada titik berwarna merah, di bawah Ciremay, di atas bukit-bukit, dengan tulisan menegak ke atas. Itu Sindangkasih. Ada titik merah pula di sebelah kanan Ciremay. Tidak jelas tulisannya (itu ternyata Cikro -Cikeruh). Lihat di sebelah kanan ada Gunung Tampomas (Berg Tampomas). Itu wilayah Sumedang (District Sammadang). Ada sungai besar. Di situ ada Karangsambung. Tarik jalan ke arah kiri, itu ke timur. Berapa jauh dari Karangsambung (Kadipaten) ke Sindangkasih? Mungkinkah itu Sindangkasih Majalengka? Agak susah? Ini potongan lebih khusus agar lebih jelas.

PETA SINDANG KASIH

Nah, sekarang agak lebih jelas. “Tetenger”-nya De Berg Sirmeij (pasti gunung Ciremay). Di bawah gunung Ciremay ada perkebunan jati. Ada sungai langsung dari Ciremay, ini nantinya bergabung ke Cimanuk (dari Sammadang). Ada bukit-bukit di paling bawah peta. Ada titik merah. Itu Sindangkasih (tertulis Cundang Kassi). Di atasnya, di hulu sungai agak ke kanan, ada titik merah juga. Itu yang tidak jelas kota apa. Di sebelah kanan, dekat sungai Cimanuk, ada Karangsambung (bawah jalan, kanan sungai) dan di atas jalan kanan sungai ada Jatiraga. Atas kiri, kiri Ciremay ada titik merah juga. Itu Kuningan. Bukit-bukit di bawah itu tidak jelas bukit apa. Sindangkasih ada di sebelah timur sungai, itu kemungkinan besar Cikeruh. Jadi, Sindangkasih itu Majalengka atau? Ini pembesaran peta di atas.

Di peta berikut baru jelas itu yang disebut Cundanglassi (Sindangkasih?) itu di mana. Berada di sebelajh timur sungai Cikeruh. Bisa jadi, jika memang sudah ada sejak baheula, itu Sindanghaji Leuwimunding, tadinya Sindangkasih (?!) Hanya saja tidak terpahami kenapa sungai Cikeruh berasal dari timur gunung pegunungan Ciremay, dan Cundanglasi ada di utara jalan raya, Sindanghaji ada di selatan jalan raya. Sindangkasih Beber? Mungkin juga.

KEBERADAAN KERAJAAN SINDANG KASIH YANG DIRAGUKAN..(adakah atau hanya sebatas dongeng sebelum tidur)

Berbasiskan sejarah pendirian kota Majalengka yang semula berasal dari “desa” (kampung bagian dari desa) Sindangkasih, sekian tahun kemudian tampaknya dibuatlah sebuah dongeng (“ngabobodo nu cengeng”), mirip sebuah legenda. Yang dijadikan objek dongeng adalah perubahan nama Sindangkasih menjadi Majalengka, dengan “keanehan” nama maja lengka yang oleh orang Majalengka “modern” tidak dikenal. Dicari direka-rekalah bahwa nama itu berasal dari kata “maja” (buah maja) dan bahasa cirebonan “langka” (beli ana) yang diubah manja jadi hilang (ngahiang), padahal hilang (“leungit”–Sunda) itu bahasa cirebonannya “ilang.”

Versinya menjadi: (1) Kerajaan Sindangkasih dengan buah (hutan) majanya “langka” (hilang); dan (2) buah maja yang diperebutkan yang kemudian “langka” (hilang).

Kapan hilangnya Kerajaan Sindangkasih (dan berdirinya Kerajaan Majalengka), konon ditengarai dengan candrasakala “sindang kasih sugih mukti” yang nilai angkanya sindang 2, kasih 1, sugih 4, dan mukti 1 (tahun Jawa/Saka). Ini dibaca dari belakang menjadi 1412. Jika dialihkan ke Masehi harus ditambah 78 jadi 1412+78 = 1490 (klop). Jika menggunakan tahun Masehi, maka angkanya menjadi sindang 0, kasih 9, sugih 4, mukti 1, dibaca terbalik jadi 1490. Nah, para ahli “sengkalan” bisa menyebutkan mana yang benar, tentu sambil harus tahu dulu apa itu makna kata “sindang” (jelas bukan bahasa Sunda yang berarti mampir, ada kemungkinan sinonim dengan sendang, sedang, sedong, atau situ). Juga makna “kasih”. Apakah bahasa Sunda modern mengenal kata kasih? Yang ada asih. Ada juga “kakasih” (yang mungkin serapan dari basa Indonesia kekasih). Jdi, pasti bahasa Sunda buhun (yang relatif banyak kesamaan dengan Jawa). Di Jogja ada nama kecamatan Kasihan yang terkenal dengan desa Kasongan (sentra kerajinan keramik). Orang Cirebon lama sudah kenal dengan nama Ki Gedheng (Gedhe = Agung, ing = di/dari) Sindangkasih (Sedhangkasih) yang punya anak Nay (Nyi) Ambet Kasih.

Yang aneh adalah candrasangkal itu lazimnya menunjukkan peristiwa tertentu yang cocok, misalnya runtuhnya Majapahit ditengarai dengan sengkala sirna ilang krtaning bumi yang sama dengan sirna 0, ilang 0, krta 4, dan bumi 1. Dibaca terbalik menjadi 1400 Saka. Masehinya 1400 + 78 = 1478. Runtuhnya majapahit itu sama dengan hilang musnahnya kesejahteraan di bumi (majapahit). Nah, hilangnya sindangkasih justru terbalik dicandrasangkali, yaitu menjadi sugih mukti. Kebohongan candrasangkala, alias candrasangkala itu tidak pernah ada. Harusnya yang sugih mukti itu Maja Lengka, jadi Maja Lengka Sugih Mukti, karena Sindangkasih sudah tidak ada, sudah berganti jadi Majalengka (karena majae wis langka–konon sejak itu ada nama Majalengka–gantinya Sindangkasih!!!!) Tapi tak cocok dengan tahunnya!!!!!! Jadi. ayamku?!! Hehehe…. Kasihan benar tuh “slogan” Sindangkasih Sugih Mukti dalam lambang Ma jalengka. Ganti saja, lah, malu-maluin anak cucu yang sudah intelektual (Jangan lupa, sudah banyak doktor dan profesor asli urang Majalengka, dan pasti akan bertambah banyak lagi!!!!)

FOTO-FOTO KUNO KABUPATEN MAJA DAN MAJALENGKA

Pertama, sungai Cikeruh. Ini di bagian mana? Tak tahu saya. Bisa jadi di dekat jembatan Sukahaji-Rajagaluh. Kedua, desa atau wilayah Sindangpalay, belum sempat saya lacak di mana. Foto-foto kuno jaman Belanda ini menyebutnya berada di derah “Madja.” Jadi, ada kemungkinan mengapa nama Kabupaten Majalengka sekarang itu awalnya Kabupaten Maja, karena nama Maja lebih populer di masyarakat dan pemerintah Belanda karena ada pabrik teh di Argalingga, dan kemungkinan mereka juga banyak berdiam di lereng Ciremay yang bernama “Maja” itu, entah di bagian mana, karena lebih dingin, lebih cocok untuk mereka. Curug Apuy juga lebih dikenal dengan nama Curug Maja, kan? Padahal di Apuy (di peta Belanda ditulis Apai, sementara Argalingga malah tidak dipetakan). Basa Sunda lawas (Kawi) “apuy” di nusantara bagian lain disebut apoy dan api; bahasa Kawi “nirapuy” = tak berapi.

STOP: Maja lebih dikenal karena ada pabrik teh di Argalingga, salah! Hehehe. Kabupaten (Regensi) Madja berdiri 1819, ganti jadi Madjalengka 1840, pabrik teh Argalingga 1900-an. (Baca “Sejarah Majalengka: Melacak Jejak Hindia Belanda” di blog ini juga, di situ ada surat keputusan asli berbahasa Belanda dari literatur berbahasa Belanda tentang Regensi Madja dan Regensi Madjalengka!). Mungkin karena di wilayah “Maja” itu banyak sekali “dalem” dari “Kerajaan” Talaga (Katumenggungan Talaga, sebagai bagian dari Kerajaan Galuh atau Pakuan Pajajaran).

Gawir tepian terjal sungai Cikeruh, Maja, Cirebon “yang gundul.” Foto tahun 1930-an, koleksi Tropenmuseum.

Di bawah ini juga tepian sungai Cikeruh, sisi yang lebih landai. Sayang seberapa lebar dan dalam sungai Cikeruh tidak tergambarkan. Jika ada gambaran lebarnya dan kepenuhan airnya, maka patut diduga bahwa “urang Talaga” jaman Kerajaan Talaga masih ada itu jika ke Cirebon pasti “berlayar” di sungai Cikeruh melalui “bandar sungai” (bahasa Belandanya “fort”) Palabuan. Nah, Palabuan ini belum terlacak jejaknya kenapa disebut Palabuan (yakin pasti “palabuan parahu” sungai Cikeruh). Tomo sudah terlacak dalam peta Belanda disebut Fort Tomo (pelabuhan–bandar sungai–Tomo), dekat desa tempat penyebrangan (menyeberangi sungai Cimanuk) yang bernama Karangsambung (disebut dalam besluit pembentukan Karesidenan CVirebon, 1819).

Tepian sungai Cikeruh, Maja, Cirebon “yang gundul.” Koleksi Tropenmuseum.